Wellcome To My Blog and enjoy

Minggu, 10 Maret 2013

HUNHAN FF- You're my reason part 3



PART 3

            Kini Sehun tengah makan malam diruang makan rumahnya ditemani oleh beberapa pelayan dan Luhan salah satu diantaranya. Hanya suara sendok yang berdenting saja yang terdengar diruangan ini. Luhan hanya terus menunduk hingga ia tak sadar jika Sehun telah selesai makan.

            “ Aku akan mengumumkan sesuatu. Aku akan mengumumkan tentang hukuman yang akan kuberikan kepada Luhan karena lalai di tugas pertamanya,” seru Sehun membuat Luhan sontak mengangkat kepalanya. Ia lalu menoleh kearah Kepala Ahn. Kepala Ahn hanya mengangguk padanya. 

            “ Hukumannya adalah, dia harus menemaniku kemana saja aku pergi. Tak ada yang bisa memerintahnya terkecuali aku. Kalian mengerti?” lanjutnya menatap kearah Luhan. 

            “ Mengerti Tuan Muda,” jawab semua yang ada di ruang makan. Sehun lalu meninggalkan ruang makan. 

            “ Hukumanmu bagus sekali, Luhan. Betapa beruntungnya kau diangkat sebagai pembantu khusus Tuan Muda. Aku iri padamu, Luhan-a,” ucap salah seorang dari pelayan kepada Luhan saat mereka membereskan meja makan. 

            “ Ah, mungkin aku hanya sedang beruntung saja,” Luhan merendah sambil tersenyum. Ia fikir, hukuman yang diberikan bukanlah seperti hukuman. Tapi, ia sangat bersyukur dengan itu. 

            Sesudah membersihkan ruang makan, Luhan dipanggil menghadap oleh kepala Ahn. Kepala Ahn akan memberitahukan Luhan semua yang berkaitan dengan Sehun. Mulai dari yang umum hingga yang khusus. Berhubung Luhan telah diangkat menjadi pembantu pribadi Sehun, dia harus tau apa yang Sehun butuhkan. 

            “ Kerjakan pekerjaanmu sebaik mungkin, Luhan. Tuan Muda mempercayakan dirinya padamu. Kau mengerti?” 

            Algaeseumnida, Kepala Ahn. Terima kasih atas informasi anda,” ucap Luhan lalu keluar dari ruangan Kepala Ahn. Sesampainya dikamar,  Luhan mencatat seluruh yang diberitahukan oleh kepala Ahn tadi. Luhan takut ia lupa nantinya.
©           
            “ Ah, Tuan Muda harus minum susu,” ujarku berbicara sendiri. Aku lalu bangkit dan menuju dapur. Untuk malam hari, aku hanya menggunakan setelan sederhana. Hanya celana panjang berbahan katun dan kaos lengan panjang saja. Pada pagi hari saja hingga makan malam saja kami menggunakan seragam. 

            Aku lalu mengantarkan susu beserta beberapa potong buah yang kuletakkan dalam satu nampan ke kamarnya. Aku menarik nafasku lalu berjalan hingga didepan pintu kamarnya. 

            “ Permisi, Tuan Muda. Ini saya, Luhan,” ucap Luhan tepat didepan pintu setelah mengetuknya pelan. 

            “ Masuklah,” suara dari dalam menyuruh Luhan segera membuka pintu dan masuk ke dalam kamar. 

            Ini kali kedua aku memasuki kamar Tuan Muda Sehun. Ternyata dia sedang belajar. Meja belajar besar dikamarnya dipenuhi dengan buku-buku yang tentu saja asing untukku. Aku hanya menempuh pendidikan hingga SMA dan tidak melanjutkannya kembali. Kuletakkan nampan dimeja kecil dekat meja belajar Tuan Muda Sehun. 

            “ Sepertinya aku belum menyuruhmu untuk keluar. Tunggu sampai aku menyuruhmu keluar,” perintah Tuan Muda tanpa mengalihkan pandangannya dari buku bacaannya. 

            “ Baiklah, Tuan Muda,” jawabku lalu tetap berdiri di pojok kamarnya. Beberapa jam, aku tetap berdiri hingga aku merasa kakiku mati rasa. Selama aku berada dikamar ini, hanya suara lembaran buku saja yang terdengar. 

            “ Selesai. Uhkkk...lelahnya~” keluh Tuan Muda merentangkan tangannya lalu bangkit dari tempat duduknya. terhitung dua jam lamanya aku berdiri tanpa duduk sedikitpun. Ia menatap aneh kearahku dan berjalan mendekatiku.

            “ Mengapa kau berkeringat? Apa kau sakit? Jangan bilang, kau sedari tadi terus berdiri seperti ini?” tebaknya benar dan membuatku mengangguk kecil.

            “ Aku harus menunggu perintah Tuan Muda. Daritadi, Tuan Muda tidak mengeluarkan perintah untukku duduk. Jadinya, aku terus berdiri hingga Tuan Muda selesai,” jujurku padanya. Jujur, aku lemas berdiri selama ini. 

            “ Aish!” desis Tuan Muda lalu menuntunku untuk duduk ditempat tidurnya. Lega rasanya. Rasa lelahku langsung hilang. 

            “ Lain kali jangan menunggu perintahku untuk hal sekecil ini. Kalau aku memerintahkanmu untuk terjun dari lantai 10, apa kau mau melakukannya?! Tidak kan?!” suaranya sedikit meninggi membuatku menundukkan kepalaku. 

            “ Maafkan saya, Tuan Muda,” cicitku kecil. Kali ini aku tidak berani menatap wajahnya. 

            “ Maafkan aku juga karena membentakmu. Duduklah diam,” suruhnya pelan. Kami yang semula duduk bersampingan kini ia melorot hingga kebawah dan memegang kakiku.

            “ T-tuan Muda, apa yang anda lakukan? Kumohon jangan seperti ini,” cegahku ketika ia memegang kakiku untuk memijitnya. Sungguh sangat tidak pantas. Seharusnya aku yang berada diposisi Tuan Muda bukan dia.

            “ Sudah, diam saja. Ini perintah,” balasnya terus memijit betisku. Aku mengalah dan membiarkan Tuan Muda memijitnya. Rasanya sangat aneh diperlakukan seperti ini oleh Tuanku. 

            “ Bagaimana? Sudah baikan?” tanyanya sembari menatap wajahku. Tangannya masih memijit-mijit pelan betisku. Kulihat, ia khawatir. 

            “ Sudah lebih baik, Tuan Muda. Terima kasih,” jawabku. Aku meraih kedua tangannya dan memintanya untuk berhenti. Ia kembali duduk disampingku. Tak terasa, aku terus menguap. Kuakui, aku sudah sangat mengantuk. 

            “ Kau pasti sudah mengantuk. Kalau kau mau, tidurlah disini, denganku,” ajaknya namun kutolak dengan halus. “ Terima kasih atas tawaran Tuan Muda. Tapi, aku lebih nyaman tidur dikamarku sendiri,”

            “ Baiklah kalau begitu. Ayo, kuantar kau kekamarmu,” ujarnya kini meraih tangan kiriku lalu mengalungkannya di lehernya. Aku sontak saja langsung kaget dengan perlakuannya yang selalu saja tiba-tiba. Tak sampai disitu, ia juga memeluk pinggangku dengan tangannya dan menuntunku berjalan dengan perlahan. Jika aku kembali membantah, pasti dia akan mengatakan jika ini perintah dan aku harus menurutinya. 

            “ Sampai,” desisnya pelan setelah mendudukanku di ranjangku. Ia melihat keseluruh penjuru kamar berukuran kecil ini. Ia lalu menghampiri sebuah papan stereform yang sengaja kutempel untuk menempel kertas yang berisi semua tentang Tuan Muda Sehun. Ingin mencegahnya, kakiku yang lemas membuatku tak mampu melakukannya. Akhirnya aku pasrah dan menyembunyikan wajahku yang memerah. 

            “ Apa kau seorang spy? Kau banyak mengumpulkan data tentangku, ya. Hahaha,” tawanya meledak sembari terus menelaah setiap tulisan tentang dirinya dikertas itu. 

            “ Pantas saja kau tau kapan waktunya aku minum susu dan makan buah. Hahaha,” tawanya kembali meledak membuatku semakin malu. 

            “ Kumohon Tuan Muda tidak mentertawakan saya seperti ini. Ini benar-benar memalukan. Saya hanya tidak mau menjadi pembantu yang tidak becus karena tidak mengingat setiap detail tentang Tuanku,” jawabku kecil dengan wajah yang tertunduk malu. 

            Tempat tidurku berderit, Tuan Muda kini duduk disampingku. Aku memberanikan diri menatapnya. Ia menatapku juga dengan senyuman yang indah itu. “ Terima kasih karena memperhatikanku. Aku senang diperhatikan olehmu,” ucapnya lembut sekali. Aku hanya mengangguk kecil dan tersenyum padanya. 

            “ Tidurlah. Mulai besok pagi kau akan ikut kemanapun aku pergi. Persiapkan dirimu. Selamat malam,” pamitnya tersenyum lalu diakhir ia mengelus kepalaku. 

            “ Anda juga, Tuan Muda. Selamat malam,” balasku tersenyum padanya. Pintu tertutup dan aku kini berbalutkan selimut. Kupegang kepala yang masih terasa hangat oleh elusannya. Setiap memikirkan adegan itu, entah mengapa aku merasa wajahku memanas dan ada banyak kupu-kupu yang beterbangan diperutku. Rasanya perutku tiba-tiba mulas mendadak.
©           
            “ Ayo ikut aku,” Aku menarik Luhan yang baru saja kutemui diruang tengah. Entah mengapa, aku tidak terlalu menyukai baju seragamnya yang formal itu. Aku lebih menyukai ia menggunakan setelan sederhana seperti pada saat malam hari. Ia yang bingung hanya mengikuti kemana aku membawanya. Aku membawanya ke kamarku dan membuka lemari tepat dihadapannya. Aku mau, selama ia menemaniku, ia memakai pakaian bebas. Bukannya aku malu membawanya kemana-mana, tapi aku lebih suka dengan penampilannya seperti itu. 

            “ Apa yang ingin anda lakukan, Tuan Muda?” beonya. Kuakui, dia terlihat sangat bingung. Wajah bingungnya tetap saja terlihat imut. 

            “ Ganti pakaianmu dengan ini. Jangan membantah, ini perintah,” jawabku pas. Ia tak menjawab melainkan mengangguk kecil lalu mencobanya di kamar mandiku. Aku menyuruhnya menggunakan pakaianku yang kurasa sedikit sempit untukku. 

            Beberapa saat kemudian, ia keluar dengan wajah yang agak bingung dan risih. Aku ternganga. Dia benar-benar berbeda. Manis sekali dengan pakaian berwarna seperti ini. Celana jeans berwarna hitam panjang, kaos berkerah V berwarna putih dibalut cardigan belang-belang merah putih membuatnya terlihat sangat manis dan imut. Lehernya yang putih dan mulus terlihat sempurna. 

            “ Perfect!” ucapku sambil terus menatapnya. 

            “ Apa tidak apa-apa dengan pakaian seperti ini, Tuan Muda?” tanyanya dengan ekpresi wajahnya yang sangat imut nan memelas. 

            “ Tidak apa-apa. Ayo, sekarang kita berangkat,” ajakku. Tunggu, aku lupa. Kubuka kembali lemariku dan mengambil sebuah sepatu converse berwarna merah dan menyuruh Luhan memakainya. Benar-benar sempurna. 

            Biasanya, pengawal yang mengawalku duduk dikursi bagian depan bersama dengan supir, tapi kali ini aku meminta Luhan duduk bersamaku. Diriku merasa tak mau berlama-lama berjauhan dengan Luhan yang manis. Kuperhatikan, ia hanya diam dan memainkan jari tangannya yang lebih kecil dariku. 

            “ Sampai. Ayo turun,” ajakku pada Luhan. Saat kami turun, banyak murid sekolah yang menatap kearahku dan Luhan. Tapi aku tidak peduli. Aku tetap menggandeng tangan Luhan hingga memasuki sekolah. Aku adalah donatur terbesar sekaligus pemilik saham terbesar di sekolah ini, jadi aku punya hak membawa siapapun masuk ke sekolah ini.

            Aku membawa Luhan hingga di UKS sekolah, tempatku biasa menghabiskan waktu. Aku mengenal baik petugas UKS ini, Hara Nonna namanya. Sebelumnya, aku juga sudah memberitahunya terlebih dahulu tentang hari ini. 

            “ Hara Nonna...,” panggilku sembari menutup pintu. 

            “ Eoh Sehunnie, wasseo,” sambutnya muncul dari balik tirai putih. Ia menghampiri kami dan pada akhirnya terhenti pada sosok Luhan. 

            “ Ini pasti Luhan, benarkan?” tebaknya semangat sekali

            Anyeonghaseyo, Luhan imnida,” tutur Luhan sopan pada Hara noona

            “ Ouch...Neomu kyeopta. Jeongmal yeppeoda!” pekiknya histeris sembari terus memegangi wajah Luhan dengan semangat. 

            “ Aish, Nonna keumanhaesseo!,” cegatku cepat. Luhan terlihat hanya senyum malu-malu saja. 

            Noona, aku titip Luhan disini sampai aku pulang sekolah. Aku masuk kelas dulu,” pamitku pada Hara Nonna.

            “ Pasti akan kujaga, Sehunnie. Aku tidak akan membiarkan anak seimut ini diganggu orang. Percaya padaku,” balasnya berlebihan. Luhan hanya tersenyum geli. 

            Micheo. Luhan-a, aku masuk kelas dulu. Jam istrahat, aku akan kesini lagi. Kau kutinggal tidak apa-apa ya?” ujarku pada Luhan. Kini ia sudah terbiasa menatapku jika berbicara. 

            “ Tidak apa-apa, Tuan Muda. Belajar yang baik ya, Tuan Muda,” nasihatnya membuatku terkekeh. Aku lalu berlalu sesaat setelah mengelus kepala Luhan lembut.
©           
            Aku melihat-lihat isi UKS sekolah Tuan Muda Sehun dan sesekali berbincang-bincang dengan Hara Nonna. Dia wanita yang baik dan mempunyai selera humor yang baik pula. 

            “ Anak itu terlihat berbeda,” gemingnya membuatku bingung. Aku melongo ingin tau.

            “ Apa ada yang berubah dari Tuan Muda, Noona?” tanyaku bingung.

            “ Semenjak ada kau, dia terlihat berubah. Dia lebih sering tersenyum dan melembut. Sebelumnya, dia adalah manusia yang sangat dingin. Tak pernah tersenyum sama sekali. Disekolah pun dia jarang berbicara kecuali untuk hal yang penting. Setiap jam istirahat, ia selalu kemari dan menghabiskan waktunya untuk tidur,” cerita Hara Noona membuatku ternganga. 

            “ Aku hanya merasa, Tuan Muda sangat kesepian. Tapi, mungkin itu hanya perasaanku saja,” ceracauku kecil.

            “ Anggapanmu sama sekali tidak meleset. Dia benar-benar kesepian. Ibunya sudah lama meninggal dan Ayahnya berada diluar negeri untuk mengurusi bisnis keluarganya yang sangat besar. Yang ia kerjakan hanya belajar untuk bisa meneruskan perusahaan keluarganya,” 

            “ Kasihan, Tuan Muda. Usianya masih muda namun telah memikul beban seberat itu,” beoku lemah. Aku kembali memikirkan Tuan Muda.

            “ Apa kau tidak menyadari sesuatu akan sikapnya padamu, Luhan?” tanyanya padaku. kini ia meletakkan segelas teh dihadapanku. Aku menggeleng tidak tau. 

            “ Dia sangat menyukaimu. Saat pertama kali ia melihatmu, ia tidak berhenti menceritakan dirimu padaku. Aku sampai bosan mendengar ia menceritakan tentang dirimu,” tuturnya lagi lalu tersenyum geli. 

            “ Aku bersyukur, Tuan Muda menyukaiku. Berarti sebagai budak, aku berhasil,” jawabku tersenyum kecil. 

            “ Kuharap kau tetap menjaga dan memperhatikan Sehun. Aku mengkhawatirkan anak itu. Dia sangat sulit mendapatkan orang yang dia sukai. Sayangilah dia, maka dia akan lebih menyayangimu lagi,” tutur Hara Noona serius. 

            “ Tuan Muda orang yang sangat baik hati. Dia tidak pernah memperlakukanku sebagai budak yang sederajat dengan binatang. Dia telah mengangkat derajatku dan memperlakukanku seperti manusia. Aku berhutang budi padanya. Sudah sepantasnya aku menjaga dan menyayangi Tuan Muda, Noona,” jelasku.
©           
            Sekarang menunjukkan jam 11. 55 siang. Bel istirahat berbunyi 5 menit lagi. Konsentrasiku sudah buyar. Aku tidak sabar untuk cepat-cepat bertemu dengan Luhan manisku. Beberapa detik sekali, aku selalu melihat jam tanganku.

            “ Kenapa lama sekali. Menyebalkan!” umpatku kecil. Saat bel berbunyi, aku langsung melesat keluar setelah mengeluarkan ponsel serta dompetku dari tas. 

            Kubuka pintu UKS pelan-pelan. Aku berniat mengejutkan Luhan. Benar saja, ia tak menyadari kehadiranku. Ia sibuk membuka kotak makanan yang ia bawa untuk makan siangku dengannya. Sebenarnya aku bisa saja menuju kantin sekolah. Tapi, kesempatan makan dengan Luhan adalah kesempatan menyenangkan untukku. Makan sambil melihat wajahnya yang manis. Itu menyenangkan, bukan!

            “ Luhan~” bisikku tepat ditelinganya membuat kejutan yang pas untuknya. Ia lalu berbalik sambil memegangi dadanya. Wajahnya terlihat sangat lucu dan menggemaskan. 

            “ Anda membuat saya jantungan, Tuan Muda. Kupikir ada hantu yang tiba-tiba lewat di sampingku. Membuatku merinding saja,” jelasnya dengan mimic wajah takut yang lucu. 

            “ Habis kau serius sekali sampai aku datang saja kau tidak sadar. Mana Hara Noona?” tanyaku pada Luhan.

            “ Dia pergi menghadiri jamuan makan siang bersama dengan guru-guru yang lain,” jawab Luhan pelan. Aku hanya mengangguk pelan tanda aku mengerti. 

            “ Makanlah, Tuan Muda. Tuan Muda pasti lapar setelah belajar keras,” tutur Luhan lembut setelah menyiapkan semuanya untukku. 

            “ Kau makan juga. Aku tidak suka makan sendirian,” pintaku padanya. Ia mengangguk dan memakan bekal makanannya juga. Luhan terlihat makan dengan serius hingga ia tak sadar aku terus memperhatikannya sembari mengunyah makananku. Ia mulai menyadari tatapanku dan akhirnya salah tingkah sendiri. Senyumku tertarik begitu saja melihatnya salah tingkah seperti itu. Perlahan wajahnya bersemu merah. Imut sekali.

            “ Tuan Muda sedari tadi terus melihatku. Apa ada sesuatu yang aneh diwajahku, Tuan Muda?” tanyanya akhirnya bergeming setelah lama menyembunyikan kesalahtingkahannya. 

            “ Diamlah. Ada sesuatu di bibirmu,” ucapku lalu mengulurkan tanganku kearah bibirnya. Memang, ada yang menyangkut disana. Kugunakan ibu jariku untuk membersihkannya. Luhan memang penurut, dia benar-benar diam tak bergerak sama sekali. Jarak kami yang lumayan jauh membuatku turun memajukan tubuhku. Karena kini jarak kami mendekat, jelas sekali aku melihat bibir Luhan sama seperti malam dimana aku mencium bibirnya pelan tanpa ia sadari. 

            “ T-terima kasih, Tuan Muda,” gemingnya kecil lalu menarik kembali wajahnya dari jangkauan tanganku. Kepalanya tertunduk dan samar kulihat semburat merah itu bertambah hebat.
©           
             “ Aku kembali ke kelas ya. Aku akan menjemputmu setelah pulang sekolah nanti,” pamit Tuan Muda padaku. Aku hanya mengangguk kecil tanda aku mengerti perintahnya. Hara Noona belum kembali juga dari jamuan makan siang tersebut. Tuan Muda tak lantas langsung pergi, ia menatap wajahku lama sekali. Jujur, itu membuatku salah tingkah karena tatapannya begitu dalam. 

            Tangannya terulur dan mengelus pipiku lembut sekali. Jemarinya hangat dan lembut. Aku tersentak kaget karena ia menyentuh wajahku. Saat aku akan menundukkan kepalaku, ia menahannya dan terus menatapku. Pada akhirnya, ia tersenyum dan meninggalkanku saat ia selesai mengelus kepalaku. 

            Deg...Deg...Deg...

            Jantungku terasa sakit karena terus berdetak tak karuan. Nafasku seringkali tertahan jika Tuan Muda mulai menatap bahkan menyentuhku. Apapun yang berkaitan dengan Tuan Muda pasti membuat tubuhku menjadi aneh. Semacam ada rasa senang berlebihan hingga aku merasa sel-sel tubuhku ikut berjingkrak-jingkrak. Aku sendiri pun bingung aku ini sebenarnya kenapa?

            “ Luhan...Bagaimana makan siangmu dengan Sehun? Apakah menyenangkan?” Hara Noona akhirnya datang setelah beberapa menit Tuan Muda meninggalkan tempat ini. 

            “ Menyenangkan sekali, Noona. Tuan Muda makan dengan lahap. Aku senang melihatnya makan selahap itu,” ceracauku ceria. Hara Noona hanya tersenyum mendengar ceracauanku.
©           
            Hari sudah sangat sore dan kami sedang dalam perjalanan ke jadwal Tuan Muda selanjutnya yaitu belajar tentang dunia bisnis dan lain sebagainya. Mobil yang kami tumpangi membelok ke sebuah hotel mewah. 

            “ T-tuan Muda...” Aku berusaha menolak saat Tuan Muda kembali menggandeng tanganku memasuki hotel tempat ia selalu belajar. Bukannya melepasnya, dia semakin mengeratkan genggamannya sembari terus berjalan. Ia benar-benar tidak peduli dengan tatapan orang. Tidak sama denganku, aku hanya menundukkan kepalaku sembari terus mengikuti langkahnya. 

            “ Selama aku belajar, duduklah disini. Kau menungguku sambil duduk disini. Kau mengerti?” ucap Tuan Muda memegang pundakku dan mendudukkan aku di sebuah kursi yang berada dipojok ruangan tempat ia belajar. Ruangan ini seperti sebuah tempat rapat.

            “ Saya mengerti, Tuan Muda. Tuan Muda, Fighting!” Aku mengepalkan tangannku dan memberi semangat pada Tuan Muda karena kulihat ia sedikit lelah.

            Ia terkekeh kecil lalu mengelus kepalaku. “ Gomaweo, Luhan-a,” 

            Proses belajar dimulai dengan menggunakan bahasa inggris yang tidak kumengerti sedikitpun. Layar besar didepan Tuan Muda dipenuhi dengan angka-angka serta kata-kata yang sangat asing untukku. Kudengar sesekali Tuan Muda berbicara. Ia juga terkadang mengangguk-angguk. Dia pasti mengerti dengan  yang diajarkan. Pengajarnya saja warga Negara asing. 

            Lingkaran mata panda Tuan Muda mulai terlihat. Dia pasti sangat lelah. Aku saja yang menunggu tanpa melakukan apa-apa saja terasa lelah, bagaimana dengan Tuan Muda? Pasti rasa lelahnya jauh lebih dariku. 

            “ Kasihan Tuan Muda. Pasti dia lelah,” gumamku melihat Tuan Muda yang baru saja menguap dengan tatapan iba dan kasihan. Kini ia menatap kearahku dan senyumnya yang indah itu terukir dan ditujukan padaku. 

            fighting, Tuan Muda,” bisikku pelan. Sepertinya ia bisa membaca gerak bibirku alhasil membuatnya tersenyum lalu mengangguk pelan. Ia lalu kembali memperhatikan pengajarnya berkoar-koar didepan. 

            Tepat jam 11 malam, Tuan Muda selesai belajar. Pengajarnya keluar dan menyisakan kami berdua didalam ruangan ini. Aku berdiri dan berjalan kearahnya sambil membawakan minuman untuknya. Kulihat, ia merenggangkan tubuhnya yang pastinya pegal.

            “ Minumlah ini, Tuan Muda. Anda pasti sangat lelah,” ujarku meletakkan sebotol minuman dihadapannya. Ia hanya tersenyum dan meminum pemberian dariku. Beberapa menit kemudian, kami berdua telah didalam mobil yang akan membawa kami pulang. 

            “ Luhan, kemari,” panggilnya padaku. Aku menggeser tubuhku agar mendekat pada Tuan Muda. “ Ada yang bisa saya bantu, Tuan Muda?” 

            “ Diamlah. Aku pinjam bahu dan lenganmu,” perintahnya langsung memeluk lengan kananku dan meletakkan kepalanya di bahuku. Nafasku langsung tercekat di tenggorokan. Tak ada jarak lagi antara aku dan Tuan Muda. Aroma tubuh Tuan Muda yang maskulin langsung menerobos indra penciumanku. Dengkuran halusnya terdengar jelas di telingaku. 

            “ Tuan Muda tertidur. Kasihan dia. Pasti sangat lelah,” gumamku. Karena ia tertidur, pasti ia tak mendengar gumamanku.
©           
            “ Bangun Tuan Muda. Kita sudah sampai,” suara lembut Luhan membuat mataku terbuka. Tubuh Luhan sangat nyaman untuk kujadikan sandaran. Masih sangat jelas aroma bayi dari tubuhnya yang khas. Kulitnya yang lembut seperti bayi membuatku nyaman sekali. Walau lengannya kurus, tapi begitu hangat dan nyaman untuk dipeluk. 

            Aku hanya memberinya senyum dan kami berjalan memasuki rumah bersama. Luhan membukakan pintu untukku dan mengantarku hingga ke kamarku.

            “ Kalau Tuan Muda membutuhkan sesuatu, cari saja saya di kamar. Saya permisi dulu, Tuan Muda. Selamat malam,” pamit Luhan membungkukkan badannya padaku. Pintu tertutup dan meninggalkan aku sendiri di kamar. 

            “ Cari aku dikamar ya katanya. Hmm...” Tiba-tiba aku mendapat ilham. Aku membersihkan diriku terlebih dahulu, mengganti pakaianku dengan piyama, dan aku ingin melakukan sesuatu.
©           
                  Aku merebahkan diriku di tempat tidurku. Rasanya nyaman sekali. Seharian ini menemani Tuan Muda cukup menguras tenagaku. Kutarik selimutku dan bersiap untuk tidur. Namun, suara ketukan pintu kamarku membuatku membatalkan niatku dan bangkit dari tempat tidurku untuk membuka pintu.

              “ T-tuan Muda. Apa ada yang anda butuhkan?” tanyaku karena ternyata Tuan Muda Sehun yang mengetuk pintu kamarku. Dia tidak menjawab melainkan memasuki kamarku lebih dalam dan merebahkan dirinya di tempat tidurku. 

              “ Tempat tidurmu nyaman juga. Aku mau tidur disini,” pintanya membuatku tertohok kaget. 

              “ Kupikir, Kamar Tuan Muda jauh lebih nyaman dibandingkan dengan kamar sederhana ini, Tuan Muda,” tuturku kini berdiri disampingnya. Ia lalu mengubah posisinya menjadi duduk dan menatap kearahku.

              “ Jadi, kau ingin mengusirku?” tebaknya langsung membuat mataku membulat.

              “ B-bukan, Tuan Muda. Bukan seperti itu maksudku,” sanggahku cepat tak mau dia salah paham. “ Baiklah jika itu kemauan Tuan Muda. Biar nanti saya tidur di bawah saja. Selamat tidur, Tuan Muda,” lanjutku pasrah lalu menuju lemari untuk mengambil kasur lipat.

              “ Tunggu! Perasaan aku tidak pernah menyuruhmu tidur dilantai. Kau juga harus tidur diranjang ini,” cegahnya tanpa aba-aba langsung menarik tanganku hingga aku terbaring tepat disampingnya. 

              “ Ta-tapi, Tuan Muda...”

              “ Luhan...” ancamnya. Lagi-lagi aku hanya bisa mengalah. Tempat tidurku tidak terlalu besar untuk memuat dua orang, alhasil jarakku dan Tuan Muda sangat kecil. Mungkin hanya sejengkal saja. Terlebih lagi, Tuan Muda menarik selimut untuk dipakai berdua denganku. Rasanya sangat aneh. 

              “ Luhan-a, bisa tidak aku minta satu hal padamu?” geming Tuan Muda.

              “ Tentu saja, Tuan Muda. Katakanlah apa yang anda pinta,” setujuku.

              “ Bisakah kau hanya menganggilku dengan nama Sehun saja tanpa embel-embel Tuan Muda? Aku tidak begitu suka dipanggil dengan sebutan Tuan Muda,” protesnya sekaligus meminta. Kepalaku yang menatap kearah plafon, kini beralih menatap Tuan Muda.

              “ Ini perintah, bukan permintaan. Pasti jika aku berkata permintaan, kau akan membantah. Jadi, kujadikan ini perintah,” sanggahnya cepat sebelum aku menjawab. Benar apa yang dikatakannya. 

              “ Coba sebut namaku,” suruhnya mengubah posisinya hingga menyamping kearahku. Kami sekarang saling bertemu wajah. Aku menarik nafasku terlebih dahulu. Rasanya memanggil namanya benar-benar tidak sopan. Tapi, karena perintahnya, aku harus melakukannya.  

              “ S-sehun...” gemingku kecil dan kaku. 

              kyepota!” cetusnya lalu mencubit pelan pipiku. Kurasakan pipiku memanas lagi. 

              “ Luhan-a, bolehkah aku meminta satu hal lagi? Tapi, kau jangan kaget ya,” pintanya lagi dan kujawab dengan anggukan kecil. Kulihat kali ini ia berfikir keras untuk mengatakan keinginan selanjutnya. Aku hanya menatapnya bingung dan menunggu-nunggu. 

              “ Luhan, saranghaeyo. Maukah kau menjadi pacarku?” ucapnya lembut dengan tatapan mata sayang dan sendu tepat jatuh dimataku. Mulutku sedikit terbuka. Aku syock, kaget, terkejut, dan bingung.

              Rasanya tubuhku mau meledak. Entah mengapa ada perasaan senang yang berlebihan didalamnya hingga perutku menjadi mulas dan jantungku bekerja dua kali lebih banyak dari biasanya. Tapi, aku dan Tuan muda itu sama-sama lelaki.

              “ Apa Tuan Muda sedang bercanda? Anda tidak sedang mengingau kan, Tuan Muda,” tuturku terbata-bata karena aku gugup.

              “ Tidak, Luhan. Aku bersungguh-sungguh. Aku mencintaimu. Aku tau ini aneh dan abnormal, namun satu yang aku tau Luhan yang ada dihadapanku adalah alasan aku mencintaimu. Aku mencintaimu, tak perduli kau budak ataupun apa. Aku tetap mencintaimu, Xi Luhan,” balasnya dengan nada suara yang serius dan berbicara dengan terus menatap mataku. 

              Aku terdiam dan memikirkan serta meresapi kata-kata Tuan Muda yang sangat indah. Tapi, apakah seorang budak sepertiku pantas untuk seorang Tuan Muda sepertinya? Aku menyelami diriku hingga aku menemukan hati nuraniku. Disana kudapatkan kebenaran yang selama ini kuabaikan, bahwa sesungguhnya hatiku juga sangat mencintai Tuan Muda Sehun. Aku mencintainya hingga aku tak mau melihat ia menderita dan lelah. 

              “ Sehun, maaf aku terlambat menyadarinya. Aku terlalu takut memelihara rasa cintaku pada Sehun. Aku merasa tidak pantas mencintai seorang Tuan Muda seperti Sehun. Tapi, setelah mendengar perkataan Sehun, hatiku tergerak untuk mengembalikan rasa cinta itu. Apa Sehun tidak keberatan jika rasa itu kembali?” tanyaku padanya. Kutatap sendu matanya yang tajam dan teduh.

              “ Dengan senang hati aku menerima rasa itu didalam hatiku, Luhan. Sejak pertama melihatmu, rasa itu telah tumbuh didalam hatiku. Kau seperti magis. Kau membuatku gila jika sebentar saja tak melihatmu. Tapi mulai sekarang, kau menjadi milikku. Kau mengerti?” sahutnya tersenyum padaku. 

              “ Luhan bersedia menjadi milik Tuan Muda Oh Sehun,” jawabku tersenyum kecil padanya. Bibirku terasa hangat dan basah ketika Sehun mendaratkan bibirnya ke bibirku. Ternyata benar, aku memang mencintainya. Sangat mencintainya. 

              “ S-sehun, Saranghaeyo,” ucapku pelan dengan kepala tertunduk malu. Pasti wajahku telah memerah hebat. Sehun lalu mengangkat daguku dan kembali menatapku. “ Nado saranghaeyo, baby Lu,” balasnya lalu mencium sekilas bibirku lagi. 

              Malam yang tidak akan pernah kulupakan. Malam dimana aku dan Tuan Muda Sehun memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Walau hanya kami berdua saja yang tau. Lengannya yang memelukku membuatku hangat. Dadanya yang bidang sangat nyaman kusandari. Aku merasa, aku merupakan budak paling beruntung bisa dicintai dan dihargai oleh Tuanku. Aku berjanji untuk selalu menjaga dan mencintai Tuan Muda tertampan dan tercintaku, Oh Sehun. 
TBC...Next part...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar